
Medan | SuaraPrananta.com – Rumah Sakit Columbia Asia yang berlokasi di Jalan Letda Sujono, Medan, kembali menjadi sorotan tajam publik. Dugaan pelanggaran berat terhadap hak pasien mencuat setelah seorang pria bernama Mangatur Silitonga (57) dilaporkan mengalami penahanan secara tidak manusiawi selama dua hari di rumah sakit tersebut. Ironisnya, penahanan dilakukan meski pasien sudah diizinkan pulang oleh dokter dan tidak diberikan satu pun obat-obatan lanjutan.
Peristiwa ini memicu kemarahan dari Ketua Umum TKN Kompas Nusantara sekaligus Ketua Pagar Unri Prabowo-Gibran untuk Negara Republik Indonesia, Adi Warman Lubis, yang turun langsung ke lokasi dan menyaksikan perlakuan tidak layak terhadap pasien yang merupakan pemegang polis asuransi Generali bernomor 00322868.
“Ini bukan hanya soal administrasi. Ini adalah kejahatan kemanusiaan. Pasien dalam keadaan lemah ditahan dua hari tanpa diberikan perawatan ataupun obat-obatan hanya karena belum bisa melunasi tagihan. Di mana hati nurani rumah sakit?” tegas Adi Warman Lubis, Kamis (12/6/2025), kepada awak media.
Menurut penuturan Adi, Mangatur telah menjalani perawatan sebanyak tiga kali sepanjang tahun 2025 di RS Columbia Asia Aksara. Pada perawatan pertama di bulan Februari, pasien tidak dikenakan biaya karena statusnya sebagai peserta aktif Generali dengan plafon pertanggungan mencapai Rp1 miliar per tahun. Namun, drama bermula pada perawatan kedua di bulan Maret, di mana pasien tiba-tiba dibebani biaya tambahan sebesar Rp28 juta.
Ketegangan memuncak saat Mangatur kembali menjalani perawatan ketiga pada April. Setelah dinyatakan sembuh dan diizinkan pulang oleh tim medis, pihak rumah sakit justru menahan Mangatur selama dua hari. Alasannya? Tunggakan biaya sebesar Rp30 juta. Yang lebih menyayat hati, selama masa penahanan tersebut, pasien tidak diberikan satu butir pun obat, meski dalam kondisi lemah usai menjalani perawatan intensif.
“Istrinya sampai harus meminjam uang dari rentenir demi bisa membayar Rp15 juta. Sisanya saya sendiri yang jamin. Saya datang langsung ke rumah sakit, bernegosiasi dengan manajemen, tapi tak ada hasil. Mereka tetap menahan pasien. Ini bukan rumah sakit, tapi tempat penyekapan,” ungkap Adi dengan nada tinggi.
Selain mengecam pihak rumah sakit, Adi juga melayangkan kritik keras terhadap Generali Indonesia. Ia menilai perusahaan asuransi tersebut telah gagal menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan dalam polis yang menyatakan bahwa peserta berhak atas plafon pertanggungan hingga Rp1 miliar per tahun.
“Kalau polis mengatakan biaya ditanggung sampai satu miliar, kenapa pasien tetap disuruh bayar puluhan juta? Di mana pertanggungjawaban Generali? Ini tidak hanya merugikan nasabah, tapi merusak kepercayaan publik terhadap industri asuransi di Indonesia,” ujarnya geram.
Lebih lanjut, Adi menegaskan bahwa tindakan menahan pasien tanpa pemberian obat maupun perawatan adalah bentuk penelantaran medis yang masuk kategori pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Ia pun mendesak Kementerian Kesehatan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan aparat penegak hukum agar segera turun tangan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh.
“Kalau benar terbukti bersalah, saya minta izin operasional Rumah Sakit Columbia Asia Aksara dicabut. Ini institusi kesehatan, bukan lembaga penagihan utang. Sudah cukup rakyat kecil dipermainkan. Jangan biarkan rumah sakit swasta menjadikan pasien sebagai objek tekanan hanya karena urusan uang,” tegasnya.
Adi juga mendesak audit menyeluruh terhadap Generali Indonesia oleh OJK. Menurutnya, jika dibiarkan, praktik semacam ini bisa menjadi pola yang merugikan jutaan nasabah di Indonesia.
“Kalau asuransi tidak bisa menepati janji dalam polisnya, itu namanya penipuan. Jangan beri ruang bagi perusahaan asuransi yang lepas tangan saat rakyat kecil sakit dan butuh perlindungan,” katanya.
Adi menyatakan pihaknya akan membawa persoalan ini ke jalur hukum apabila RS Columbia Asia Aksara dan Generali Indonesia tidak menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan kasus tersebut.
“Ini bukan semata-mata soal uang. Ini soal keadilan, soal keberpihakan pada rakyat kecil, dan soal integritas institusi pelayanan publik. Kami akan kawal kasus ini sampai ke meja hukum, jika perlu sampai ke pusat,” pungkasnya dengan tegas.
(Krisna Sembiring)