Koran Karo-Karo: Pejuang Gerilya, Politisi Pejuang, dan Penjaga Republik

0
43

Medan | SuaraPrananta.com – Koran Karo-Karo adalah sosok paripurna: komandan gerilya revolusi, politisi pejuang tulen, hingga penggagas organisasi energi nasional. Lahir 7 Juli 1920 di Desa Kutabuluh, kaki Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, ia ditempa kerasnya hidup sejak kecil. Di usia tujuh tahun ia sudah ikut berdagang ke Medan, sebuah tempaan yang melahirkan karakter pekerja keras dan kepemimpinan baja, mengiringinya mengukir sejarah bangsa dari masa kolonial, revolusi fisik, hingga Orde Baru.

Dalam revolusi fisik, Koran Karo-Karo tampil sebagai Wakil Komandan sekaligus Kepala Staf Sektor III Sub-Teritorium VII Komando Sumatera. Pasukan Halilintar yang dipimpinnya disegani Belanda dengan semboyan “lebih baik maju daripada mundur”. Dari Karo, Dairi, Aceh Tenggara hingga Langkat, namanya harum sebagai komandan gerilya yang membuat lawan kewalahan. Setelah republik berdiri, pengabdiannya tak pernah usai. Negara berulang kali mengaktifkannya kembali untuk menumpas pemberontakan, dan ia selalu maju di garis depan, meski pengorbanan pribadi yang ditanggung begitu besar.

Di panggung politik, Koran Karo-Karo adalah tokoh tulen Partai Nasional Indonesia (PNI). Dari partai inilah ia turut serta membendung pengaruh PKI dan memperkuat sendi-sendi republik. Ia menjadikan politik bukan sekadar perebutan kursi, melainkan medan perjuangan untuk menjaga tegaknya Indonesia merdeka.

Pada masa Orde Baru, ia juga dipercaya menjadi anggota MPR RI melalui Golkar. Jejak ini menegaskan kiprahnya lintas zaman—dari PNI hingga Golkar—membuktikan dirinya bukan sekadar politisi biasa, melainkan penjaga republik yang berkomitmen dalam setiap fase sejarah. Ia berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh besar Sumatera Utara lain seperti Jamin Ginting, sosok yang mampu menembus batas waktu dan generasi.

Tak kalah penting, Koran Karo-Karo turut menggagas cikal bakal organisasi energi nasional bersama Syahbudin Siregar. Dari OPS Migas, GAPERMIGAS, hingga lahirnya Hiswana Migas, langkah mereka menjadi fondasi kemandirian energi bangsa dari Sabang sampai Merauke. Jejak pemikirannya membuktikan bahwa pengabdiannya bukan hanya di medan perang dan politik, tetapi juga dalam memperkuat pilar ekonomi strategis.

Warisan lainnya terpatri dalam dunia pendidikan militer. Sekolah Prajurit Kadet Brastagi di Bukit Kubu menjadi saksi kiprahnya mencetak kader-kader prajurit tangguh di masa awal republik. Monumen perjuangan Kesatuan TNI Sektor III Napindo Halilintar yang diresmikan 7 Mei 1991 oleh Kolonel A.E. Kawilarang bersama dirinya, masih tegak hingga kini sebagai prasasti pengabdian.

Negara memang telah menganugerahinya sejumlah bintang kehormatan. Namun penghargaan itu belum sebanding dengan pengorbanan yang ia berikan. Julukan, monumen, dan penghormatan simbolik bukanlah akhir. Koran Karo-Karo layak mendapatkan pengakuan tertinggi sebagai Pahlawan Nasional.

Motto hidupnya—“Ketekunan, semangat tinggi, keberanian untuk kebenaran, serta hormat menghormati sesama manusia adalah modal utama”—menjadi warisan moral yang tak lekang oleh waktu. Cucu beliau, Cipta Sembiring, SE, menegaskan, warisan itu adalah obor yang harus tetap menyala. “Kakek saya mengajarkan keberanian, kejujuran, dan ketulusan membela rakyat. Itu yang akan saya teruskan untuk generasi berikutnya,” tegasnya.

Karena itu, pemerintah pusat tidak boleh menutup mata. Dengan jejak perjuangan militer, politik, dan ekonomi yang nyata, Koran Karo-Karo bukan hanya tokoh Karo, melainkan tokoh bangsa. Dari rimba gerilya hingga ruang parlemen, dari medan perang hingga penguatan energi, satu hal harus ditegaskan: Indonesia berhutang, dan pengakuan itu harus diwujudkan dengan gelar Pahlawan Nasional bagi Koran Karo-Karo.

🟥 Kardo | SuaraPrananta.com
🗣️ Berani Mengungkap

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini