Negara Ditantang Hadir! Pdt. Penrad Bongkar Skandal Lama di Balik Konflik Tanah Simpang Gambus

0
29

Jakarta | SuaraPrananta.com – Setelah lebih dari setengah abad dikubur dalam diam, konflik agraria di Simpang Gambus, Kabupaten Batu Bara, kembali mengguncang publik. Senator DPD RI asal Sumatra Utara, Pdt. Penrad Siagian, menantang negara untuk segera hadir dan menyelesaikan sengketa yang telah menindas rakyat sejak 1960-an.

Dalam pertemuan resmi dengan Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Iljas Tedjo Prijono, Senin (2/6/2025), Penrad menyampaikan desakan keras agar proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo dihentikan sampai masyarakat memperoleh keadilan atas tanah leluhur mereka.

“Saya sudah dampingi masyarakat jauh sebelum menjadi anggota DPD RI. Ini bukan konflik biasa—ini pengusiran terstruktur dan pembungkaman sejarah,” tegas Penrad, Selasa (3/6/2025).

Ia menyebut masyarakat Simpang Gambus memiliki dokumen otentik: sejarah penguasaan, keberadaan perkampungan, hingga bukti pengambilalihan lahan secara paksa oleh perusahaan besar.

Penrad mengingatkan bahwa hasil RDP antara DPD RI dan instansi terkait telah menyepakati penghentian sementara pembaruan HGU PT Socfindo. Namun hingga kini, negara belum benar-benar bertindak.

“Kalau rakyat berjuang damai, lalu dianggap tidak ada konflik—itu keliru besar. Mereka berjuang dengan martabat, tapi dilupakan,” tandasnya.

Iljas Tedjo: BPN Siap Evaluasi, Usul Enklave 600 Hektare Didorong

Menanggapi desakan itu, Dirjen ATR/BPN Iljas Tedjo Prijono menyatakan bahwa kasus Simpang Gambus sudah masuk radar kementeriannya. Ia menyebut perlu adanya pembahasan lanjutan dan pengumpulan data menyeluruh, termasuk fakta sejarah yang disampaikan masyarakat.

“Data sejarah tidak boleh diabaikan hanya karena tak tercatat di sistem formal. Justru itu jadi referensi penting dalam menyelesaikan konflik,” ujarnya.

Iljas bahkan menyarankan solusi awal: meng-enklave (mengecualikan) area 600 hektare dari proses perpanjangan HGU, untuk mencegah gejolak sosial dan memberi ruang bagi penyelesaian tuntas.

“Ini bukan hanya soal aturan. Ini soal rasa keadilan. Kalau kita paksakan perpanjangan, ini bisa memicu letupan konflik di lapangan,” tegasnya.

Ia juga mendorong terbentuknya forum bersama yang melibatkan ATR/BPN, DPD RI, pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat, agar tidak ada lagi saling tuding tanpa arah penyelesaian.

Konflik Lama, Luka Dalam

Konflik Simpang Gambus bukan sekadar sengketa tanah. Ini potret nyata ketimpangan struktural: tanah dirampas, sejarah dihapus, dan suara rakyat dibungkam. Pengusiran warga sejak era 1960-an bahkan diwarnai stigmatisasi politik, membuat masyarakat bungkam dalam ketakutan.

Kini, di tengah tekanan publik dan dukungan dari lembaga negara, rakyat Simpang Gambus kembali berdiri menuntut hak mereka.

Apakah negara akan benar-benar hadir? Atau sekali lagi memilih diam?

Penulis: Mabhirink Gaul
Editor: Redaksi SuaraPrananta.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini