

Deli Serdang | SuaraPrananta.com — Sengketa lahan seluas sekitar 14 hektare di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, antara 49 warga dan PT Perkebunan Nusantara I Regional 1 (d/h PTPN II), kini semakin terang setelah pengakuan mengejutkan disampaikan oleh mantan Manajer PTPN II. Salah satu penggugat, Bernard S, mengungkap bahwa mantan pejabat perusahaan tersebut secara langsung mengakui bahwa tanah yang disengketakan warga tidak termasuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN.

“Beliau sendiri bilang kepada saya, tanah itu memang bukan bagian dari HGU PTPN II. Jadi lucu kalau sekarang tiba-tiba diklaim aset perusahaan,” kata Bernard, Senin (22/7/2025).
Fakta pengakuan tersebut memperkuat keyakinan warga yang telah mengelola lahan itu sejak awal 2000-an. Bahkan, sejumlah rumah permanen sudah berdiri di atas lahan tersebut sejak tahun 2002 tanpa ada satu pun keberatan atau langkah hukum dari pihak perusahaan.

Bernard juga menegaskan bahwa di lokasi lahan sengketa tidak ditemukan patok-patok resmi sebagai tanda batas HGU yang seharusnya wajib ada sesuai ketentuan agraria. Selain itu, hingga kini tidak ada peta bidang resmi yang membuktikan bahwa lahan yang disengketakan warga termasuk dalam HGU Nomor 90 milik PTPN.
“Lahan ini berada di tengah pemukiman warga yang bersertifikat Hak Milik (SHM), dan bahkan berbatasan langsung dengan sebuah pabrik spring bed. Ini jelas menunjukkan bahwa lokasi tersebut bukan bagian dari aset PTPN,” tegas Bernard.
Kekeliruan fatal lain yang disorot adalah somasi yang dilayangkan PTPN I pada tahun 2018. Dalam somasi tersebut, PTPN salah menunjuk lokasi tanah perkara di Pasar IX, padahal secara fakta objek lahan yang disengketakan warga berada di Pasar VII Desa Sei Semayang.
Hal lain yang menjadi perhatian warga adalah kantor distrik PTPN I yang letaknya berdampingan dengan objek sengketa telah dipagari permanen dengan beton, sementara lahan sengketa tetap dibiarkan terbuka tanpa pengelolaan perusahaan selama puluhan tahun. Warga memanfaatkan lahan tersebut dengan aktivitas penimbunan, pembangunan jalan, hingga jual beli tanah secara terbuka tanpa pernah ada protes atau gugatan resmi dari pihak perusahaan.
“Tanah itu kami kelola bertahun-tahun. Tanahnya bahkan sudah diaktekan secara sah oleh Notaris Puji Wahyuni. Kalau memang lahan ini HGU PTPN, kenapa tidak dari dulu diambil alih? Kenapa tidak ada pagar batas atau peringatan? Kenapa rumah kami dibiarkan berdiri, tapi tiba-tiba tanaman jagung warga dirusak pakai alat berat pada 2018? Ini jelas permainan,” ujar Bernard.
Tindakan PTPN yang merusak tanaman warga tanpa dasar hukum jelas itu dinilai tidak konsisten dan membingungkan. Sementara bangunan rumah warga di atas lahan yang sama tetap dibiarkan berdiri.
Kuasa hukum warga menyebut tindakan PTPN sebagai bentuk kesewenang-wenangan dan dugaan manipulasi administrasi agraria. Mereka menegaskan pengakuan mantan pejabat PTPN harus menjadi bahan pertimbangan serius bagi majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.
“Kami berharap pengadilan memberi putusan yang adil. Ini bukan sekadar formalitas hukum di atas kertas, tapi soal keadilan bagi warga kecil yang sudah lama dizalimi,” ungkap kuasa hukum para penggugat.
Sengketa ini kini menjadi perhatian masyarakat luas dan aktivis agraria di Sumatera Utara. Banyak pihak berharap kasus ini menjadi momentum penting bagi penegakan keadilan agraria di daerah tersebut.
(Ril)