

Deli Serdang | SuaraPrananta.com – Kesusastraan Melayu telah menjadi fondasi penting dalam perkembangan sastra Indonesia. Dari hikayat hingga pantun, pengaruhnya masih terasa dalam karya-karya sastra modern dan terus berkembang di era digital.
Sejak abad ke-15, bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara. Kerajaan Malaka, Aceh, dan Riau menjadi pusat perkembangan sastra Melayu klasik yang sarat dengan nilai moral dan budaya. Hikayat Hang Tuah, misalnya, menggambarkan kepahlawanan serta nilai kesetiaan yang masih relevan hingga kini. Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji juga menjadi bukti kejayaan sastra Melayu yang mengandung pesan-pesan kebijaksanaan.
Pada era pergerakan nasional dan kemerdekaan, bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia, memengaruhi gaya sastra modern. Sastrawan seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar mengadaptasi unsur tradisi Melayu dalam karya-karya mereka. Pengaruh ini juga tampak dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka serta Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer yang menyoroti perjalanan sejarah dan kebangkitan bangsa.
Kini, di era digital, pengaruh sastra Melayu terus berkembang dalam berbagai format, mulai dari novel dan puisi hingga film serta platform media sosial. Karya sastra berbasis digital, podcast literasi, dan adaptasi ke dalam film maupun web series menjadi cara baru untuk melestarikan warisan ini. Dengan tetap menjaga dan mengembangkan nilai-nilai sastra Melayu, generasi mendatang dapat terus menggali kekayaan sastra Indonesia yang berakar kuat pada budaya Nusantara.
Dodi Geber