


Jakarta | SuaraPrananta.com – Di tengah dinamika politik nasional yang kerap berpusat di Jakarta, suara-suara dari daerah sering kali tenggelam. Hal inilah yang menjadi sorotan Penrad Siagian, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2024–2029, yang menegaskan pentingnya penguatan peran DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dalam pandangannya, DPD RI merupakan manifestasi dari semangat reformasi untuk membawa aspirasi daerah ke panggung nasional. Namun, lebih dari dua dekade sejak dibentuk, lembaga ini dinilainya masih tertatih dalam menjalankan fungsinya secara substantif.
“Ibarat mata air di hulu yang jernih namun terhambat alirannya, aspirasi daerah sering tak menemukan muara dalam kebijakan nasional,” tulis Penrad dalam artikelnya yang berjudul “Menjemput Keadilan dari Pinggiran: Menguatkan Peran DPD RI dalam Rancang Bangun Negara.”
Ia menyampaikan dua langkah strategis yang perlu segera dilakukan. Pertama, mendorong diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) yang memberikan peran eksplisit bagi DPD dalam penyusunan kebijakan fiskal, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Siapa yang lebih memahami denyut nadi daerah jika bukan wakil-wakil yang lahir dari rahim daerah itu sendiri?” ujar Penrad. Menurutnya, pelibatan DPD dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan daerah akan memastikan keadilan fiskal yang berkelanjutan dan kontekstual.
Langkah kedua adalah merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) untuk memperkuat posisi hukum DPD RI. Ia menekankan bahwa peran DPD tidak boleh lagi sekadar memberi pertimbangan tidak mengikat, tetapi harus menjadi mitra sejajar dalam proses legislasi yang menyangkut kepentingan daerah.
“Pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang otonomi daerah, fiskal, hingga pembangunan wilayah perbatasan harus bersifat mengikat,” tegasnya.
Bagi Penrad, penguatan DPD RI bukan semata demi kepentingan kelembagaan, tetapi sebagai bentuk keberpihakan terhadap daerah sebagai jantung republik. Indonesia, katanya, bukan hanya Jakarta, melainkan seluruh wilayah dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.
Di akhir tulisannya, Penrad menutup dengan nada reflektif:
“Di ruang-ruang senyap Musrenbang desa, di lorong-lorong perbatasan yang jauh dari pusat kekuasaan, dan di balik gunung-gunung yang tak pernah disebut di rapat kabinet—di sanalah harapan akan Indonesia yang adil disemaikan. Menguatkan DPD RI bukan soal politik, tetapi soal moral: maukah kita menjadi bangsa yang mendengar seluruh rakyatnya?”
(Mabhirink Gaul)