

Jakarta | SuaraPrananta.com – Pengesahan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) No. 1 Tahun 2025 oleh DPR RI pada 4 Februari 2025 menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk dari Anggota DPD RI sekaligus MPR RI, Pdt. Penrad Siagian. Ia menilai revisi UU ini tidak hanya cacat prosedural, tetapi juga menjadi bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Proses penyusunannya minim partisipasi publik dan dilakukan tanpa transparansi yang layak. Ini sudah cukup menjadikannya sebagai produk hukum yang inkonstitusional,” ujar Penrad dalam pernyataan tertulis yang diterima SuaraPrananta.com.
Menurutnya, UU ini disahkan tanpa melalui tahapan sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tidak adanya naskah akademik yang bisa diakses publik dan tidak dimasukkannya revisi ini ke dalam Prolegnas Prioritas menjadi indikasi bahwa pembahasannya sarat kepentingan terselubung.
“RUU ini bukan hanya tidak masuk Prolegnas, tapi juga menjadi produk legislasi pertama di tahun 2025. Pertanyaannya: ada urgensi apa? Dan untuk kepentingan siapa?” tegas Penrad.
Lebih lanjut, Penrad menyebut revisi tersebut mengandung sejumlah pasal yang justru memperlemah pengawasan dan membuka celah besar terhadap praktik korupsi di tubuh BUMN. Ia menyoroti tiga poin penting:
- Pemangkasan Wewenang BPK: Dalam UU BUMN yang lama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki kewenangan penuh memeriksa keuangan dan kinerja BUMN. Kini, BPK hanya dapat melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), itu pun harus atas permintaan DPR. “Ini membuka ruang politisasi pengawasan,” katanya.
- Organ BUMN Tak Lagi Penyelenggara Negara: Dengan pasal baru yang menurunkan status pejabat BUMN, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) otomatis kehilangan kewenangan untuk menyelidiki kasus korupsi di BUMN kecuali dalam kondisi tertentu. “Ini seperti memberikan karpet merah bagi para koruptor,” ujar Penrad.
- Kekayaan BUMN Tak Dianggap Keuangan Negara: Frasa “kekayaan negara yang dipisahkan” dihapus dari definisi BUMN. Artinya, dana negara di BUMN tak lagi dianggap bagian dari keuangan negara, sehingga lepas dari jerat hukum negara.
Pdt. Penrad menegaskan bahwa seluruh ketentuan ini berbahaya dan melemahkan fungsi kontrol publik terhadap keuangan negara. Ia mempertanyakan, “Untuk siapa sebenarnya UU ini disusun? Rakyat atau elit yang punya kepentingan dalam tubuh BUMN?”
Penrad mendesak agar masyarakat sipil, akademisi, dan media bersatu mendorong uji materi terhadap UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Ia juga menyerukan DPR untuk lebih mendengar aspirasi publik dan berhenti menjadikan legislasi sebagai alat transaksional politik.
“Kalau begini caranya, DPR sedang menggali lubang besar bagi masa depan bangsa,” pungkasnya.
Mabhirink Gaul